Ritual Perang Obor di desa Tegalsambi kecamatan Tahunan Jepara, yang juga merupakan acara sedekah bumi dan syukuran panen raya warga Tegalsambi menyedot perhatian ribuan warga Jepara Termasuk anggota Jelajah wisata alam. Ritual perang obor dilaksanakan di perempatan Tegalsambi dan dilaksanakan sehabis isya. Pembukaan Ritual ini dimulai sekitar pukul 20.00 yang dilangsungkan di kediaman Petinggi desa Tegaksambi dan dipimpin oleh Modin desa setempat.
Bupati Jepara beserta Camat Tahunan, Petinggi tegalsambi serta pasukan perang obor berjalan menuju lokasi perang obor yaitu di Perempatan Tegalsambi. Sesampainya di perempatan, doa kembali dipanjatkan dengan harapan acara ritual perang obor berjalan dengan lancar dan aman.
Perang obor dimulai setelah Bupati menyalakan api obor pertama. Kemudian api dari obor tersebut ditularkan ke obor yang lain, sebagai tanda perang obor akan segera dimulai. Para pasukan Perang Obor, yang hanya menggunakan baju lengan panjang dan caping (topi petani berbentuk kerucut dari anyaman bambu) sebagai pelindung kepala langsung saling perang. Obor yang terbuat dari Blarak (pelepah dan daun kelapa) dan didalamnya diisi Klaras (daun pisang kering)tersebut saling dibenturkan sehingga membentuk percikan api. Kobaran api yang besar dan panasnya keadaan disekitar obor, tidak menyulutkan semangat pengunjung untuk mendekat. Tak hayal jika obor-obor tersebut saling dibenturkan, pengunjung harus lari menghindar agar tidak terkena percikan api Obor yang sangat panas dan dapat menimbulkan luka bakar. Beberapa pengunjung mendapat luka bakar ringan, dan tak sedikit dari mereka ruak pakaiannya karena terkena percikan api.
Setelah Ritual perang Obor selesai, pasukan Obor langsung bergegas menuju kediaman petinggi untuk mengobati luka bakar yang diderita. Ramuan minyak kelapa yang dicampur dengan kembang telu dijadikan obat tradisional untuk mengobati luka tersebut.
Perang Obor sendiri yang juga disebut Obor-oboran merupakan salah satu Upacara Tradisional masyarakat Jepara khususnya masyarakat desa Tegalsambi Tahunan Jepara, Cerita asal-usul
tradisi Perang Obor berasal dari zaman Kerajaan Demak.
Pada masa itu, di desa
Tegalsambi menetap seorang petani kaya yang bernama Kyai Babadan. Kekayaan yang
diperoleh dari kerja keras sebagai seorang petani itu ditabung dengan cara dibelikan
kerbau dan sapi untuk diternakkan. Sapi dan kerbau yang diternakkan tersebut
sangatlah banyak sehingga Kyai Babadan tidak mampu menggembalakannya sendiri. Ia
berfikir harus mencari orang yang mau dipekerjakan sebagai penggembala.
Kebetulan di desa itu ada seorang yang bernama Ki Gemblong yang dapat
menggembalakan semua ternaknya. Oleh karena itu, kemudian Kyai Babadan meminta Ki
Gemblong menggembalakan ternaknya. Ki Gemblong menyanggupi pekerjaan yang
diberikan oleh Kyai Babadan kepadanya yaitu menggembalakan ternak-ternak Kyai
Babadan. Namun semua itu ternyata di luar dugaan Kyai Babadan, sebab Ki
Gemblong tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kesanggupannya. Sebaliknya Ki
Gemblong bahkan menelantarkan kerbau dan sapi milik Kyai Babadan, daripada mengembala
ternak-ternak tersebut, Ki Gemblong lebih senang dan asyik menangkap ikan dan
udang di sawah dan sungai. Dia tidak mempedulikan apakah sapi dan kerbau yang digembalakannya
memperoleh makanan yang cukup atau tidak. Ki Gemblong juga tidak mau
membersihkan dan memandikan ternak-ternak yang digembalakannya tersebut. Oleh
sebab itu tidak mengherankan jika ternak milik Kyai Babadan yang
digembalakannya menjadi kurus kering dan sakit-sakitan. Pada awalnya memang Ki
Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan tersebut, namun demikian pada
akhirnya Kyai Babadan pun mengetahui keadaan sapi dan kerbaunya. Kyai Babadan
menjadi geram ketika melihat kondisi ternak miliknya yang kurus dan
sakit-sakitan itu disebabkan oleh keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong.
Oleh karena kegeramannya yang memuncak maka Kyai Babadan menghajar Ki Gemblong
dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa. Menerima perlakuan yang demikian
ini, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal diam. Ia juga segera mengambil pelepah
daun kelapa untuk selanjutnya dinyalakan sebagai obor untuk menghadapi Kyai
Babadan. Selanjutnya terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kyai
Babadan dan Ki Gemblong. Pertarungan tersebut semakin lama tidak semakin mereda melainkan
semakin bertambah seru, sehingga kobaran-kobaran api yang ditimbulkannya
mengakibatkan terbakarnya kandang sapi dan kerbau. Akibatnya kerbau dan sapi
yang berada di kandang berlarian ketakutan. Namun anehnya ternak yang semula
berpenyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan seperti itu
mereka berdua pun akhirnya menghentikan perkelahian mereka.
Berdasarkan tradisi
lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu anak-cucu
Kyai Babadan dan Ki Gemblong selalu melakukan upacara perang obor di Tegalsambi
untuk mengenang kedua tokoh tersebut dan sekaligus upacara Perang Obor ini
dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit. Upacara
ini dilengkapi pula dengan pagelaran wayang kulit. Selain itu terdapat pula prosesi untuk mengarak empat pusaka (dua
pedang : Gendir Gampang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, dan sebuah bedug
Dobol) yang dipercayai sebagai warisan dari Sunan Kalijaga kepada Kebayan Tegalsambi. Kedua pedang kayu itu
konon, merupakan serpihan kayu yang digunakan untuk membangun Masjid Demak.
Selain Perang Obor di Jepara juga terdapat kebudayaan yang menarik, yaitu Festival Memeden Gadu di Desa Kepuk kecamatan Bangsri
Selain Perang Obor di Jepara juga terdapat kebudayaan yang menarik, yaitu Festival Memeden Gadu di Desa Kepuk kecamatan Bangsri
buat pengunjung yang datang apa ada peralatan khusus ya ,
BalasHapusPaket Wisata Lombok
Mutiara Lombok
untuk pengunjung, tidak ada peralatan khusus, hanya saja disarankan lebih hati-hati jangan sampai terkena percikan api bekas sambaran api peserta ritual. apabila terlanjur terkena luka bakar, pengunjung diwajibkan kepada penyelenggara ritual agar bisa di obati dengan segera.
BalasHapus